CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Rabu, 24 November 2010

Bencana Banjir Wasior dan Kapitalisasi Hutan


Jakarta - Di tengah riuh-rendahnya isu pembatalan presiden ke Belanda dan kontroversi calon tunggal Kapolri batin kita kembali terkoyak duka atas bencana banjir yang melanda Wasior Papua Barat. Bencana itu meranggut nyawa seratus lebih orang dan ratusan lainnya mengalami luka-luka dan masih banyak korban yang belum ditemukan.

Tentu tak mungkin kita menyalahkan Tuhan. Dengan dalih musibah yang terjadi adalah akibat amukan alam yang berada dalam kendali dan kuasa-Nya. Tuhan telah menyediakan alam dan rasionalitas manusia untuk memanfaatkan alam sebagai rahmat dan faedah untuk dirinya.

Namun, terkadang manusia alpa, tamak, dan serakah. Alam dieksploitasi tanpa belas. Tanpa memberikan hak atasnya. Tanpa membiarkan keseimbangan tercipta atas dasar dan asas-asas ekologi yang berkelanjutan. Tak dapat dipungkiri bencana alam Wasior yang menyedot air mata. Musibah atas korban nyawa yang berjubel itu dikarenakan ekses eksploitasi hutan yang beringas.

Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) menilai banjir bandang di kota Wasior akibat kerusakan hutan di kawasan Kabupaten Teluk Wondama. Manajer Desk Bencana Eksekutif Walhi Irhash Ahmady mengatakan Walhi memperkirakan sekitar 30-40 persen hutan di kawasan Hutan Suaka Alam Gunung Wondiboi dan kawasan Taman Nasional Laut Teruk Cenderawasih mengalami alih fungsi. Akibatnya, Kali Angris dan Kali Kiot meluap dan membawa bencana bagi Wasior.

Kapitalisasi
Paradigma manusia terhadap hutan serta jejak keekologian saat ini tidak lagi dilihat sebagai entitas kehidupan. Akan tetapi hutan saat ini dilihat sebagai modal (kapital). Maka kepenguasaan atasnya adalah semata dikontrol oleh hukum-hukum bendawi (materialistis) yang berimpresi bisnis dan logika keuntungan.

Dengan paradigma semacam itu hutan semata dilihat sebagai sumber uang, sumber investasi, dan keuntungan (profit). Beda halnya bila hutan dilihat sebagai entitas kehidupan. Karena, dengan paradigma demikian (entitas kehidupan) hutan didekati secara etik secara moralistik. Karena, hutan menyimpan kehidupan manusia dan makhluk-makhluk lain secara holistik. Karena, hutan menyimpan kunci mata rantai keseimbangan kehidupan biotik.

Konsekuensinya perlakukan terhadap hutan pun cenderung pada perspektif hukum pasar (antara manusia dan sumber pendapatan). Hutan tidak lagi dilihat sebagai habitat makhluk hidup termasuk manusia. Melihat hutan dengan paradigma kehidupan akan mendorong manusia bertindak konstan. Dan, wujud dari itu adalah memanfaatkan hutan sembari memikirkan dan bertindak untuk mengontrol akibat-akibatnya.

Bencana banjir yang menelan nyawa manusia sebegitu banyak di Wasior disebabkan sempitnya cara pandang masyarakat terhadap hutan dan memanfaatkannya dengan cara-cara yang tidak etik. Ujung-ujungnya paradigma yang demikian justru memusibahkan manusia.

Kontrol Masyarakat
Dewasa ini menyerahkan kontrol keseimbangan ekologi kepada pemerintah saja tidak cukup. Karena, maraknya illegal logging oleh para cukong, baik dalam maupun luar negeri, membuka peluang pasar gelap penebangan hutan yang melibatkan kong-kalikong pemerintah dengan para cukong itu.

Kalau diibaratkan alih fungsi hutan dan penebangan liar hutan merupakan "lingkaran setan" yang membutuhkan kerja kolektif untuk melindungi hutan dari kelestariannya. Oleh sebab itu dibutuhkan keterlibatan masyarakat dalam memainkan peran kontrol terhadap masa depan keseimbangan ekologi.

Undang-Undang dan peraturan pemerintah saja tidak cukup melindungi hutan. Olehnya itu dibutuhkan keterlibatan masyarakar dengan segenap representasi kearifan lokalnya untuk menjadikan lingkungan sekitar sebagian bagian penting kehidupan sosial masyarakat setempat.

Keseimbangan ekologi dan ikatan nilai-nilai kearifan lokal setempat harus direvitalisasikan. Agar keterlibatan masyarakat dalam perlindungan hutan dan keberlangsungan keseimbangan ekologi dapat terjaga secara simultan. Hutan harus dijadikan basis kehidupan masyarakat.

Edukasi
Sejak saat ini, hendaknya kita sadar, untuk membudayakan pendidikan masyarakat dengan perspektif keseimbangan ekologi. Tentu pembudayaannya bermula dari masyarakat. Baik di ranah pendidikan, lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan, dan
stake holder pemerhati ekologi hutan.

Formalisasi pendidikan berbasis lingkungan selama ini cenderung terpola pada mekanisme kurikulum pendidikan yang mekanis. Alhasil sentuhan atau pengaruhnya terhadap kultur masyarakat masih terbilang minim. Hal ini terbukti dengan minimnya pengetahuan masyarakat tentang pentingnya merawat keseimbangan ekologi hutan.

Akibatnya tak jarang masyarakat pun sering terlibat dalam perusakan-perusakan hutan yang bersifat komersil. Pola edukasi kesadaran ekologi seperti ini perlu diubah secara revolutif. Jika tidak jangan salahkan siapa-siapa bila hutan kita rusak dan berakibat bencana dan kematian. Bencana banjir di Wasior Papua menjadi pelajaran berharga. Semoga!

Abdul Munir Sara
Jln Kayu Manis Baru 2 Matraman Jakarta Timur
abdulmunir_sara@yahoo.co.id
081318004078

0 komentar: