CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Rabu, 24 November 2010

Penanganan Lingkungan Barak Pengungsian Korban Bencana


Jakarta - Erupsi Gunung Merapi belum ada tanda-tanda berhenti hingga hari ini. Merapi semakin membuktikan diri sebagai gunung api teraktif se-dunia.

Sejak letusan perdana 26 Oktober 2010 silam BNPB mencatat aktivitas Merapi telah memakan korban 35 orang tewas. Tidak cukup itu. Hingga 2 November 2010 sekitar 17.776 orang di Kabupaten Sleman dan 13.757 orang di Kabupaten Magelang harus hidup di pengungsian.

Semenara itu kondisi yang lebih memprihatinkan terjadi di Kepulauan Mentawai akibat bencana tsunami 26 Oktober 2010. Upaya maksimal pemerintah pusat dan daerah telah terlihat dikerahkan. Partisipasi lembaga-lembaga non pemerintah dan masyarakat luas pun terus mengalir.

Posko pengungsian telah banyak didirikan dan berbagai bantuan juga terus datang dari berbagai kalangan. Dalam konteks penanggulangan bencana upaya-upaya tanggap darurat seperti itu memang menjadi prioritas penanganan.

Tanggap Lingkungan

Sudah seminggu warga lereng Merapi hidup di pengungsian. Setelah bantuan makanan, obat-obatan, dan pakaian, berbagai kebutuhan dan penanganan selanjutnya perlu segera dipenuhi. Di antaranya adalah pendidikan anak-anak dan penanganan trauma.

Selain kebutuhan langsung tersebut ada satu aspek yang efeknya tidak langsung dirasakan namun membahayakan jika dibiarkan. Yakni kesehatan lingkungan.

Setiap tempat tinggal manusia membutuhkan fasilitas lingkungan. Dikarenakan setiap saat manusia itu menghasilkan limbah dan membutuhkan air bersih. Demikian pula pada tempat tinggal sementara di pengungsian.

Beberapa hari pasca letusan Merapi berbagai penyakit mulai mengancam para pengungsi. Seperti diare, disentri, infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), demam berdarah, dan sebagainya. Tanpa penanganan kondisi ini tentu dapat memperparah penderitaan korban. Bahkan, menimbulkan korban baru.

Mulai sakit hingga meninggal dunia. Karenanya, bersamaan dengan program tanggap darurat prioritas yang layak segera diperhatikan adalah tanggap lingkungan. Yaitu upaya-upaya yang dilakukan untuk menangani masalah lingkungan pasca bencana.

Fasilitas (Ramah) Lingkungan
Tanggap darurat sifatnya adalah penanganan sementara. Oleh karena itu dibutuhkan program atau fasilitas yang praktis namun optimal. Praktis karena mendesak dan dalam keterbatasan. Serta optimal agar sesuai fungsi yang dibutuhkan. Jangan sampai alih-alih ingin membantu kebutuhan korban justru berpotensi menimbulkan masalah baru.

Pemenuhan fasilitas yang ramah lingkungan menjadi titik temunya. Selain menjawab kebutuhan dasar fasilitas yang ramah lingkungan juga dapat mengantisipasi dampak negatif. Bahkan, bisa berdaya guna.

Fasilitas lingkungan mendasar yang dibutuhkan misalnya adalah jamban. Tempat, material bangunan, dan ketersediaan air yang terbatas menuntut penyediaan jamban yang praktis. Model jamban praktis dan ramah lingkungan yang direkomendasikan beberapa pihak adalah jamban ecosan atau bio-toilet.

Jamban ini hemat air karena kotoran langsung masuk ke lubang tanah atau orang Jawa biasa menyebutnya dengan 'cubluk'. Ketika sudah tidak terpakai jamban ini tinggal ditimbun dan akan bermanfaat bagi kesuburan tanah.

Fasilitas selanjutnya adalah tempat sampah. Potensi timbunan sampah cukup besar mengingat jumlah pengungsi yang banyak dengan tempat yang sempit. Sampah yang berserakan akan mengundang penyakit melalui lalat, tikus, atau nyamuk. Tempat sampah dengan demikian multak diperlukan.

Akan lebih baik lagi jika tempat sampah menggunakan konsep pemilahan antara sampah organik dan anorganik. Pemilahan ini akan memudahkan dalam pengelolaan dan pemanfaatannya.

Fasilitas berikutnya adalah sarana air bersih. Air bersih menjadi kebutuhan dasar untuk keperluan masak, minum, dan mandi. Kuantitas sarana ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan yang beragam. Mengingat ketersediaan yang terbatas maka penggunaan air pun perlu dikelola sehemat-hematnya.

Upaya tanggap lingkungan kiranya tidak cukup hanya dengan penyediaan fasilitas. Yang tak kalah penting untuk diupayakan adalah penyuluhan bagi masyarakat (korban) tentang kesadaran dalam menjaga pola hidup yang sehat serta melakukan pengelolaan dan pemanfaatan fasilitas secara optimal.

Kehadiran banyak relawan juga diharapkan dapat dioptimalkan. Saatnya upaya pemeliharaan lingkungan pengungsian seperti membersihkan sampah, dan lainnya menjadi fokus penanganan.

BNPB mencanangkan program tanggap darurat bencana letusan Merapi selama 14 hari sejak pertama terjadi erupsi, yaitu 26 Oktober 2010. Periode ini masih memungkinkan diperpanjang jika erupsi masih terus terjadi. Tanggap lingkungan diharapkan bisa menyatu dengan program tanggap darurat ini.

Pascatanggap darurat program rehabilitasi dan rekonstruksi menanti untuk segera dilakukan. Dan, rehabilitasi dan rekonstruksi fasilitas lingkungan diharapkan dapat menjadi bagian yang diprioritaskan di dalamnya. Konsep ramah lingkungan menjadi acuan agar kondisi lingkungannya jauh lebih baik daripada sebelum bencana terjadi.

Hampir tiap tahun Merapi melakukan erupsi dengan rentang 4-5 tahun untuk skala besar. Sekitar 21 gunung api pun sekarang sedang aktif di Indonesia. Hampir seluruh wilayah Indonesia juga rawan gempa. Dan, ribuan pulau pun terancam potensi tsunami.

Semoga bangsa ini dapat terus belajar dari setiap peristiwa agar tanggap dan tidak gagap dalam menanganinya. Dalam jangka panjang perlu dirumuskan upaya komprehensif dan operasional sebagai standar untuk mitigasi serta meminimalisasi korban dan kerugian akibat letusan gunung api.

Ribut Lupiyanto
lupy.algiri@gmail.com
081802711965

Peneliti dan Ketua Divisi Riset Pusat Studi Lingkungan Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.

0 komentar: