CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Rabu, 24 November 2010

Bertemu Wakil Rakyat Sedang Kunker di Luar Negeri


Jakarta - Ketika negara ditimpa musibah lagi sementara ada sejumlah wakil rakyat nekad pergi studi banding atau kunjunan kerja (kunker) ke luar negeri maka tak ayal lagi ini tentu memancing kritik dan diskusi. Penulis jadi ingat dengan sekitar tiga atau empat kali pengalaman ketika berjumpa dengan wakil rakyat di luar negeri yang katanya sedang melakukan comparative study atau pun kunker. Dengan tidak bermaksud untuk "menggebyah-uyah" (menyamaratakan) pengalaman ini rasanya layak sebagai itibar atau perbandingan. Sebagai gambaran riil apa yang sempat penulis lihat dan temui sendiri.

Pengalaman pertama terjadi sudah agak lama. Ketika penulis masih studi di Australia. Tepatnya sekitar 1993-an. Hari itu Ahad pagi. Penulis memang sedang berlibur dengan keluarga mengunjungi Gedung Parlemen yang memang lazim dikunjungi turis bila datang ke Canberra.

Pertemuan itu terjadi tidak sengaja di sebuah toko cendera mata. Tidak jauh dari Gedung Perlemen itu. Rombongan yang datang itu adalah anggota DPRD DIY. Sebagai orang Yogya tentu terjadi tegur sapa antara penulis dengan beberapa orang anggota delegasi.

Dua hal 'lucu' yang penulis rasakan atau lihat adalah adalah pertama, mengapa mereka mengunjungi gedung itu di hari libur. Dapat diduga bahwa sebenarnya mereka tidak sedang studi banding tetapi hanya berlibur dan berkeliling.

Kedua, ketika di toko cenderamata itu terdengar salah seorang dari mereka meminta tolong (kalau tidak salah kepada tour guide yang juga orang Indonesia) agar sang tour guide bersedia membantu 'menawar' barang yang akan dibeli oleh sang wakil rakyat. Ini jelas pertanda bahwa yang bersangkutan tidak bisa berbahasa Inggris! Sehingga, tidak tahu, apa yang akan dipelajarinya di negeri itu, ketika untuk berkomunikasi secara sederhanapun dia tidak mampu.

Pengalaman kedua adalah ketika penulis bertemu dengan rombongan anggota DPRD Kutai Kartenegara di Amsterdam Belanda tahun 2005. Persisnya penulis sedang berada di halaman Museum Patung Lilin Madame Tussauds. Ada rombongan sedang berfoto-ria dan berbicara dalam Bahasa Indonesia.

Penulis pun langsung mencoba berkomunikasi. Sekali lagi mereka mengaku sedang melakukan studi banding. Tidak tanggung-tanggung. Mereka mengunjungi 9 negara. Kalau tidak salah memakan masa sekitar dua bulan! Ketika itu bahkan bulan Ramadhan dan hari kerja. Bukan hari libur!

Pengalaman ketiga adalah ketika penulis mendapat undangan dari KBRI Kuala Lumpur. Untuk menghadiri pertemuan dengan Pansus. Kalau tidak salah sedang menginvestigasi kasus ekses pemilu 2009. Khususnya berkaitan dengan kacaunya Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Ketika itu rombongan DPR beranggotakan 12 orang mewakili beberapa partai ditambah dengan 3 orang staff. Karena sedang bulan puasa pertemuan berlangsung sore hari sekitar 1-2 jam sebelum buka puasa.

Apa yang menggelikan dari pertemuan ini adalah pertama, jumlah anggota yang datang yang cukup besar, 12 orang. Hemat penulis, untuk hal seperti itu cukup diwakili maksimal 2 orang saja, dan tidak perlu membawa staff. Kedua, reaksi mereka terhadap komentar masyarakat.

Dari awal mereka katakan bahwa tujuan kedatangannya untuk adalah mencari data dan fakta serta kemungkinan usulan perbaikan atas masalah yang sama. Agar tidak berulang di kemudian hari. Ketika audien mulai memberikan pandangan para anggota DPR tersebut 'berebut' meminta jatah bicara untuk memberikan tanggapan sehingga waktu yang sudah demikian singkat habis tidak karuan di antara audien ada yang terpaksa melakukan interupsi mempertanyakan: "apakah setiap masukan kami harus ditanggapi oleh seluruh anggota yang hadir"

Singkat cerita --menurut hemat penulis, kunjungan dan pertemuan itu tidak membawa hasil apa pun. Sementara biaya yang harus dikeluarkan tentunya luar biasa mahal. Terbukti memang tidak terdengar apa pun sampai sekarang apa yang mereka hasilkan?

Pengalaman keempat memang penulis tidak bertemu langsung. Kejadiannya di New York pada bulan April 2009 yang lalu. Ketika itu ada rencana salah seorang kolega penulis yang bekerja di Konjen New York berjanji akan menjemput penulis di Penn [Central] Station New York. Tetapi, tiba-tiba saja kolega tersebut mengirim SMS minta maaf karena mendapat tugas 'mendadak' melayani kunjungan (kalau tidak salah) 18 orang anggota DPR pusat.

Dia akhirnya mengirim bawahannya untuk bertemu penulis. Nah, ketika penulis tanyakan kepada kawan pengganti yang akhirnya menemui penulis tentang apa sasaran kunjungan para wakil rakyat itu, mengapa terkesan mendadak, dan sejumlah pertanyaan lain, sang kawan, memang tidak bisa menjelaskan sama sekali. Yang ada hanyalah senyum penuh arti?

Sesungguhnya ada sejumlah pengalaman lain yang berkaitan dengan kunjungan kerja ke luar negeri yang penulis lihat sendiri. Termasuk oleh kalangan kampus. Namun, sulit rasanya membuang kesan bahwa studi komparatif, kunker, atau apa pun namanya, tidak lain dan tidak bukan adalah proyek yang diada-adakan untuk sekedar melegalkan kesempatan mereka berlibur secara gratis ke luar negeri.

Konon --menurut cerita seorang kolega penulis di sebuah kementerian, uang saku untuk kunker ke luar negeri untuk seorang PNS adalah adalah Rp 2,500,000 per hari. Ini tentu saja di luar biaya transpor, akomodasi, dan lain-lain biaya lainnya. Dapat diperkirakan tentunya berapa banyak dana habis untuk sebuah kunjungan ke luar negeri.

Kesan buruk di atas diperkuat oleh beberapa indikator berikut:
(a) tidak terlihat tujuan yang jelas, apalagi terukur untuk kegiatan itu;
(b) jumlah peserta yang sama sekali tidak seimbbang dengan tujuan yang akan dicapai. Dengan tujuan yang sangat sederhana sebuah rombongan bisa mencapai belasan, atau malah puluhan orang, kadang-kadang;
(c) sangat rendahnya kemampuan komunikasi, khususnya bahasa Inggris, membuat kita selalu bertanya: apa sebenarnya yang mau dicapai oleh kegiatan itu?
(d) sangat jarang untuk tidak mengatakan tidak pernah, terlihat hasil nyata, yang kemudian dapat diketahui oleh publik secara transparan.

Atas dasar ini rasanya memang sudah saatnya kegiatan semacam ini dilarang sama sekali. Atau setidaknya lebih terkendali dan terukur sehingga dapat dibandingkan cost dan benefitnya. Bila tidak inilah salah bentuk penyalahgunaan wewenang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Sementara rakyat masih sangat miskin, musibah datang silih berganti, namun ada pemubaziran dana luar biasa, oleh mereka yang sedang berkuasa. Aneh, tetapi nyata. Wallahu alam bisshowab.

0 komentar: