CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Rabu, 24 November 2010

Mempredikasi Krisis Ekonomi Indonesia 2014


Jakarta - Sejak tahun 1998/1999 Indonesia telah mengalami beberapa kali krisis ekonomi. Sepertinya akan terus bisa terulang. Apa pun alasannya, apapun bentuk komentar dan analisa yang dilontarkan pakar terhadap peristiwa krisis ekonomi, orang awam tak mau ambil pusing. Karena, yang lebih penting kenyataannya. Selalu masyarakat (terlebih masyarakat bawah) yang paling banyak menerima dampak merugikan dari peristiwa tersebut.

OECD (Organisation for Economic Cooperation Development) dan kelompok G 20 telah meminta Indonesia pada tahun 2014 menghapus subsidi bahan bakar (BBM) dan listrik. Untuk kemudian lebih berusaha meningkatkan pendapatan dan taraf hidup
masyarakat dan meningkatkan nilai sumber daya manusia dan mengurangi kemiskinan.

Kalau bisa diartikan tahun 2014 Indonesia sudah harus mencapai perekonomian yang stabil. Tapi, apakah mungkin terwujud? Tidak ada lagi perasaan kemahalan membeli bahan bakar, atau mahal dalam membayar listrik, membeli minyak goreng, dan lain-lain. Akankah rakyat saat itu terlepas dari masalah-masalah ekonomi yang selama ini rutin menimpanya?

Hanya empat tahun menuju tahun 2014. Mari melihat hari ini. Berat sekali untuk meyakinkan diri dengan begitu banyak persoalan hari ini. Dari hari ke hari makin banyak pihak asing masuk, berperan, mengelola aset, sumber daya alam, dan badan usaha negara. Tapi, sedikit keuntungan imbal balik bagi kita untuk bisa dapat mandiri dalam mengelola apa yang kita miliki.

Biaya kebutuhan hidup sangat mudah bergerak naik. Sering terjadinya pengendalian harga sepihak atau spekulan menjadikan harga komuditas kebutuhan hidup rakyat begitu mudah dipermainkan dan mencekik rakyat walau operasi pasar dilakukan. Ditambah lagi rentenir yang kian berperan merugikan pedagang. Harga prasarana untuk menggerakan usaha kecil atau menengah yang kian mahal. Seperti listrik, bahan bakar, dan lain-lain.

Masih ada satu hal lagi yang menghancurkan keyakinan untuk bisa mencapai yang diinginkan di tahun 2014. Yaitu kehidupan bernegara. Isinya banyak sekali pemborosan. Tak terkontrolnya perilaku penyelenggara negara (penguasa dan parlemen), adanya KKN, rekayasa ide-ide terkait kekuasaan, fasilitas para penyelenggara negara, ongkos yang mahal untuk menghasilkan perudangan atau peraturan, studi banding, pemekaran wilayah, pilkada dengan money politic-nya yang tidak sedikit memunculkan pertikaian, kekerasan fisik di masyarakat bahkan adu domba.

Tercapainya tujuan politik sebenarnya adalah untuk memecahkan persoalan-persoalan pengangguran, kemiskinan atau meningkatkan perekonomian, dan rendahnya taraf pendidikan. Namun, justru diputar balik dijadikan alat tumpangan kepentingan politik golongan tertentu. Karena, kuatnya godaan peluang berada di kekuasaan itu bisa memperkaya diri maupun korupsi.

Semua itu cenderung tidak memberikan dampak signifikan bagi perubahan nasib rakyat. Tapi, kesibukan amat lebih terasa sekali di sini daripada kesibukan menghasilkan solusi bagi meningkatkan taraf perekonomian bangsa, meningkatkan daya saing sumber daya manusia, dan daya saing bangsa di dunia internasional. Sangat mudah memprediksi atau karena sudah terlihat dari persoalan-persoalan hari ini dan kemarin.

Dengan memperhatikan uraian di atas tadi yang ditambah pula akan ada peristiwa pemilu di tahun 2014, yang berdasarkan pengalaman terdahulu jika mendekati momentum ini akan banyak terjadi gejolak dan intrik yang akan terlihat dampaknya, setelah pemilu selesai seperti contohnya yang terlihat adalah kasus Bank Century. Maka kekhawatiran akan peristiwa dan mimpi buruk krisis ekonomi di waktu yang lalu akan terulang lagi.

Sebenarnya banyak yang bisa dilakukan hari ini untuk mengantisipasi dan mencegah sesuatu hal buruk yang bisa terjadi di masa datang. Sebagai bangsa kita harus sadar terlebih dahulu kenyataan bahwa bangsa ini makin hari makin tergerus rasa percaya dirinya untuk bisa mandiri.

Kita harus berani menolak desakan OECD atau siapa pun tadi yang jelas merugikan kita. Tapi, kita juga harus siap jika keputusan itu diambil. Ini adalah hal yang klasik karena selalu membuat kita menyerah sebelum perang. Ya, karena kita tidak berani memulai memperbaiki diri dan meninggalkan hal-hal yang hanya membuang-buang waktu dan pemborosan karena telah terbelenggu konsep pencapaian-pencapaian atau kepentingan-kepentingan jangka pendek saja. Untuk kepentingan golongan tertentu saja, untuk pemenangan pemilu lima tahun ke depan saja, dst, dst.

Jurang antara si kaya dan si miskin kian lebar. Padahal, kita bisa mendapatkan solusi dari sini dengan berbagi. Beramal melalui rasa nasionalisme ingin memajukan bangsa ini. Si kaya lebih sadar untuk lebih banyak membantu si miskin. Lebih banyak menyumbangkan bagi pelatihan, pendidikan, dan modal usaha atau pun meringankan pinjaman bagi yang tidak mampu demi menggerakkan ekonomi dari bawah, merata, dan ke atas mencapai kemapanan.

Tidak melulu berpikir untuk pengembangan usaha si kaya saja. Atau bagi yang sudah dibantu setelah berhasil kemudian harus menjadi bagian dari kelompok usaha si kaya. Hal ini yang jika dibiarkan justru melahirkan monopoli.

Begitu banyak produk merek turunan dari luar negeri merajai pemasaran di negeri ini. Tapi, varian dari asli domestik. Harus dibuat kebijakan memberikan peluang bagi yang lemah atau usaha lokal menjadi varian. Agar produk yang sama hasil lokal, makin banyak bisa tampil ke permukaan dan dipakai. Penghormatan dan previlasi atas produk lokal atau daerah lebih ditingkatkan, ditunjang kebijakan.

Semisal suatu daerah bisa memproduksi sabun mandi dengan standar SNI yang sama dengan produk merek turunan dari luar negeri yang telah ada, mekanisme standar mutu hanya satu dan telah baku kita tak perlu ragu, maka varian produk hasil lokal itu diwajibkan dipakai di daerah tersebut.

Adanya kebebasan produk asing dengan standar yang sama di pasar domestik maka logikanya harus ada kebebasan juga bagi produk domestik untuk bergerak tumbuh atau dipakai. Kesadaran untuk selalu mau memakai dan memberi tempat bagi produk lokal lebih karena suatu kesadaran akan bisa memperkuat perekonomian domestik dan penghargaan karena kualitas yang sama atas produk.

Bukan karena kita beralasan membuat kebijakan memproteksi agar merek turunan asing tidak dipakai. Tapi, tujuannya untuk menciptakan "keseimbangan pasar". Hal mana yang sangat tidak dihormati dalam pasar bebas. Juga bukan semata karena merek turunan dari luar atau karena sekedar asing masuk sebagai pemegang saham ke dalam perusahaan produk lokal maka dianggap selalu terbaik. Atau bisa menjadi solusi bagi lebih banyak penyerapan lapangan kerja.

Hal ini tidak selalu benar. Justru kebijakan pembatasan diperlukan untuk eksisnya produk domestik dan penghargaan atas varian produk asli lokal tadi yang akan berdampak bagi pemerataan kesejahteraan dan perkuatan ekonomi domestik. Ciptakan, dukung dengan kebijakan, hargai, pakai, dan cintai yang kita buat sendiri.

Setiap negara punya hak untuk mensejahterakan rakyatnya. Sama seperti negara-negara maju di sana. Apa pun sistem pasar yang didengungkan. Kita juga punya hak untuk keberatan atas hal-hal yang kita anggap tidak sesuai dan tidak memajukan kehidupan kita. Karena, kondisi tiap negara pasti beberbeda.

Negara berkembang dan negara maju mempunyai aura dan tahapan proses terwujudnya kematangan perekonomian yang sangat berbeda satu sama lain. "Keseimbangan pasar" yang juga adalah hak asasi itu diperlukan oleh Indonesia untuk menghadapi pasar bebas. Mengapa ini tidak dijadikan alasan atau bahan negosiasi untuk menolak desakan organisasi-organisasi tadi.

Ini adalah hak asasi manusia. Organisasi dunia terbesar seperti PBB mengakui ini. Kita harus berani merumuskan ini dalam sikap politk luar negeri kita dan dalam tiap kongres perdagangan atau ekonomi dunia. Namun, sayangnya dalam setiap momentum internasional itu kita justru kedodoran. Tidak mampu merumuskan kepentingan ekonomi nasional yang harus diperjuangkan akibat lemahnya sumber daya manusia yang kompeten untuk itu. Juga untuk bisa bernegosiasi dan berdiplomasi. Kita selalu terseret mengikuti kemauan negara-negara maju yang mementingkan tujuannya sendiri.

Namun, semoga kita bisa mengambil yang terbaik di ajang internasional Summit Meeting G 20 di Korea Selatan. Tahun 2014 momentum politik akan diikuti momentum ekonomi yang telah bergerak dari hari ini. Jika keduanya tidak kunjung ada perbaikan maka benturan antara keduanya akan sangat merugikan stabilitas ekonomi dan yang paling berbahaya dampak terhadap stabilitas keamanan. Karena, paling sulit diprediksi bentuknya.

Sementara itu sangat diharapkan netralitas dan kemandirian TNI Polri karena melalui intelejen-nya dapat menyumbangkan solusi bahkan memberi aspek pencegahan akan terjadinya instabilitas keamanan. Belajar dari pengalaman setiap ajang program pilkada yang akan diadakan, melalui intelejen jauh-jauh hari, pemerintah telah menginfokan kepada publik antisipasi potensi terkait akan terjadinya instabilitas keamanan.

Artinya netralitas dan kemandirian TNI Polri akan memberi sumbangsih yang penting. Terlebih untuk masalah keamanan yang lebih besar atau nasional. Maka jangan pernah menuruti dan menanggapi lagi ide-ide untuk menarik TNI Polri ke ranah politik dalam perjalanan ke tahun 2014.

Mari menyambut tahun 2014 dengan berbekal pelajaran dari pengalaman dan kemauan kuat untuk introspeksi diri, dan memperbaiki diri. Terutama bagi pemimpin dan wakil rakyat. Jangan hanya berkreativitas untuk mengumpulkan dolar sebanyak-banyaknya. Atau sekedar demi meraih keuntungan jangka pendek atau pribadi di tahun 2014. Karena, penderitaan rakyat yang berakumulasi akan seperti sebuah bom waktu.

0 komentar: