CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Rabu, 24 November 2010

Percaya Tak Percaya Eden di Indonesia


Jakarta - Sudah baca buku Eden From the East? Bagaimana? Percayakah anda bahwa kita hidup di atas negeri Nabi Nuh? Dalam buku tersebut diceritakan bahwa Asia Tenggara, terutama Indonesia, merupakan kandidat terkuat sebagai tempat dari sisa-sisa benua Sundaland yang tenggelam oleh banjir besar berabad-abad lalu.

Sundaland, menurut tesis sejarah saat ini, dipercaya sebagai benua awal bumi yang kemudian ditenggelamkan oleh air bah sebagaimana diceritakan oleh kitab-kitab samawi. Namun demikian di mana lokasi tepatnya masih terus diperdebatkan.

Nah, di sinilah sang pengarang buku tersebut Stephen Oppenheimer berargumen. Untuk mendukung tesisnya ini Oppenheimer mencoba mengkaji cerita-cerita rakyat yang berkembang di berbagai daerah. Sehingga, ia pun akhirnya menemukan bahwa mitologi banjir besar ini paling banyak ditemukan di Indonesia.

Penerjemahan buku ini dalam edisi Indonesia juga disambut baik berbagai kalangan. Mantan Ketua MK Jimly Ashidiqie merupakan salah satu di antara yang menyatakan apresiasi dan dukungannya atas penerjemahan buku tersebut. Menurutnya buku ini turut memperkaya sumber-sumber literasi yang bisa meningkatkan moral anak Nusantara dalam pergaulan internasional. Terutama atas prasangka terhadap diri sebagai ras kelas dua bahkan kelas tiga (terpinggirkan -red).

Sebenarnya buku yang 'mencurigai' bahwa Indonesia sebagai pusat peradaban manusia di masa lalu bukan baru kali ini saja diterbitkan. Sebelumnya sebuah buku berjudul "The Lost Continent Finally Found" karangan Arysio Nunes do Santos mengindikasikan bahwa Atlantis, sebuah pulau berperadaban tinggi yang digambarkan oleh Plato juga berada di sekitaran negeri ini.

Ala kulli hal, semua orang bisa saja berpendapat. Namun, tetap saja baik Sundaland maupun Atlantis di Nusantara masih sulit untuk dibuktikan secara pasti. Sehingga, kedua tesis ini tetaplah akan menjadi tesis ilmiah yang sifatnya kontroversial.

Meski kontroversial tesis Oppenheimer ini cukup memberi kesan tersendiri bagi penulis. Bahkan, hal ini mengundang kita untuk bermain opini di dalamnya.

Sebagaimana diketahui Nabi Nuh memiliki keistimewaan dalam sejarah hidupnya. Diceritakan dalam Al Quran bahwa ia adalah seorang nabi dengan usia yang mendekati satu milenium. Namun, ironisnya ia dikelilingi oleh masyarakat yang amat sangat begajulan.

Beberapa sumber menyebut bahwa dalam umur Nabi Nuh yang selama itu hanya sekitar 40 keluarga yang mau mengikuti jalannya. Mereka pulalah yang kemudian berhasil diselamatkan dari banjir dahsyat saat itu. Yang Kemudian dari sini manusia diduga mulai menyebar keberbagai penjuru bumi yang kemudian membentuk ras-ras dan bangsa-bangsa tertentu di kemudian hari.

Berbicara tentang kaum Nabi Nuh yang sangat sulit diubah mengingatkan akan cerita penggagas peraih nobel perdamaian asal Bangladesh Muhammad Yunus. Dalam bukunya yang berjudul "Bank Kaum Miskin" (edisi Indonesia) ia menceritakan pengalamannya terkait sejarah pembentukan Grameen Bank. Serta perkembangan bank ini di berbagai negara.

Dalam buku tersebut dikisahkan bahwa Grameen Bank ini berdiri dengan dilatarbelakangi keprihatinan Yunus akan kondisi kemiskinan akut yang menjangkiti negerinya tersebut. Hingga pada suatu ketika ia mencoba untuk turun langsung ke lapangan untuk mencari tahu kondisi masyarakat guna mencari titik terang atas gelapnya kemiskinan di sana.

Setelah beberapa waktu melakukan pengamatan ia menemukan beberapa fakta unik terkait kehidupan para wanita Bangladesh. Mereka ini hidup dalam ketertutupan atas dunia luar. Terutama atas para orang asing --seperti Yunus yang baru datang ke sana saat itu.

Para wanita ini pun, digambarkan Yunus, kerap mendapat perlakuan kasar dari para suami, serta tekanan orang tua jika mereka belum menikah. Budaya lokal yang bersifat konservatif juga mendukung "pemenjaraan" para wanita tersebut. Hal inilah yang menyebabkan mereka menjadi tertutup akan dinamika yang ada diluar rumahnya.

Di tengah segala yang bersifat serba tertutup tersebut rupanya para wanita ini sebenarnya adalah para pahlawan dari masing-masing keluarga. Mereka adalah pelindung bagi para anak sekaligus seorang pekerja keras. Hal yang berbeda bila dibandingkan oleh para pria.

Selain itu para wanita ini adalah orang-orang yang bisa menjaga amanat ketika ada pinjaman atau titipan yang diberikan pada mereka. Apa pun bentuknya. Mereka akan berjuang sekuat tenaga untuk menjaga amanat ini dan akan mengembalikan amanat tersebut bila suatu saat diminta oleh empunya.

Kombinasi antara kerja keras dan amanat inilah yang kemudian menjadikan Grameen Bank bisa mencapai kesuksesannya. Sehingga, dengan bantuan sponsor serta management yang baik di dalanya Grameen bisa meluaskan jaringan hingga lintas desa di sana.

Dalam cerita selanjutnya juga disebutkan bahwa tak hanya Bangladesh. Beberapa negara juga berhasil menjalankan sistem Grameen ini. Akan tetapi, Yunus, menyebutkan bahwa ada dua negara saja yang masih belum berhasil menerapkan program Grameen ini. Yang pertama adalah Filipina, sedangkan kedua adalah negeri kita, Indonesia.

Apa yang salah dengan Indonesia? Yunus pun enggan untuk membeberkannya lebih lanjut. Namun, bila dikaitkan dengan asumsi negeri kaum Nuh tadi tentu membuat tubuh ini merinding. Karena alih-alih mewarisi peradaban tinggi justru malah mewarisi kegendengan kaum Nabi Nuh tersebut.

Hal ini lagi-lagi mengingatkan penulis pada curhat seorang toke (lintah darat) terkait perilaku hutang masyarakat desa, tempat Kuliah Kerja Nyata (KKN) semasa kuliah dulu. Saat itu dengan nada memelas, sang toke menuturkan minimnya kemauan para warga desa untuk membayar hutang membuat usahanya kerap mengalami kredit macet. Bahkan, meski sang toke memberi ancaman dengan bunga ringgi hal ini tetap saja tak berarti.

"Masyarakat sudah kecanduan hutang. Mereka lebih senang barangnya disita. Ketimbang harus membayar hutang, katanya.

Hal yang lebih Ironis terjadi ketika bantuan pinjaman dari pemerintah datang. Jangan harap akan dikembalikan. Dipakai untuk kepentingan membangun usahanya saja sudah merupakan prestasi yang baik.

Alih-alih menjadikan pinjaman tersebut adalah sebuah hutang yang harus dibayar mereka malah berpikir hal tersebut merupakan sebuah kompensasi atas mereka status kewaeganegaraan mereka. Toke tadi menilai perilaku konsumtif (kerakusan -red) diduga sebagai biang masalah ketimbang kemiskinan yang dijadikan alasan ketakmampuan mereka dalam mengembalikan pinjaman tersebut.

Di tingkat elit juga tak jauh berbeda. Kasus Gayus, mungkin bisa dijadikan refleksi atas kondisi permasalahan masyarakat saat ini. Mental ogah bayar hutang ini juga terjadi pada masyarakat yang, katanya, lebih 'beradab'.

Memang sungguh suram negeri ini kalau dipikir-pikir. Namun demikian bukan berarti tak ada cahaya terang di dalamnya dan optimisme di dalamnya. Beberapa waktu lalu ulama internasional, Dr Yusuf Qhardawi pernah mengungkapkan keoptimisan itu.

Dalam ceramahnya di masjid Al Azhar Kebayoran itu ia memprediksi bahwa kebangkitan peradaban baru manusia akan dimulai dari negeri ini. Qardhawi melihat bahwa potensi kehidupan yang lebih demokratis, dibanding negara lain, membuat Indonesia memiliki modal yang membuka keluwesan masyarakatnnya untuk mengkspresikan dirinya secara lebih baik.

Tentu pada akhirnya kita berharap optimisme Qhardawi itu bisa terwujud. Sehingga, bangsa ini termasuk kedalam 'golongan orang-orang yang ikut dalam bahtera Nuh itu'. Semoga saja.

0 komentar: