CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Rabu, 24 November 2010

Ke Mana Arah Keadilan Iklim?


Jakarta - Minggu lalu para negosiator perubahan iklim dari seluruh dunia bertemu di Bonn untuk pertama kalinya sejak konferensi Desember tahun lalu di Kopenhagen. Tujuan dari pertemuan Bonn sejatinya adalah untuk mengambil "pecahan-pecahan" dari pertemuan Denmark yang dianggap banyak pihak telah gagal mencapai kesepakatan ambisius mencegah perubahan iklim dunia.

Target selanjutnya pertemuan Bonn adalah melihat berbagai sisi positif yang masih bisa diambil dan kemudian mengubahnya menjadi kesepakatan global yang lebih mengikat pada konferensi perubahan iklim berikutnya di Cancun Meksiko pada bulan Desember 2010.

Kenyataannya, perdebatan tentang "climate justice" (keadilan iklim) selalu menjadi topik yang hangat. Karena, perbedaan sudut pandang itu pula akhirnya pertemuan di Kopenhagen yang lalu tidak menemui kesepakatan target ambisius untuk mengatasi perubahan iklim bumi.

Tanggung Jawab Apa Lagi?

Ungkapan keadilan iklim muncul karena adanya historical responsibilities (tanggung jawab sejarah). Seperti tertuang dalam Kyoto Protokol "common but differentiated responsibilities" (senasib, tapi beda tanggung jawab).

Dari sudut pandang tanggung jawab historis tentu tidak adil menyamaratakan tanggung jawab antara negara pencemar (yang nota bene adalah negara maju) dan negara berkembang. Ratusan tahun lamanya negara berkembang, seperti Indonesia, berada dalam kolonialisasi negara maju. Naasnya, ketika negara berkembang memiliki peluang mengkapitaliasi kekayaan alam untuk kemakmuran bangsanya, kondisi yang ada sangat dibatasi oleh kemampuan bumi yang semakin ringkih dan adanya peraturan lingkungan international yang ketat.

Sayangnya, wacana memposisikan "dosa iklim" dari runtutan sejarah tersebut tidak mudah diterima di negara maju. Pernyataan bahwa generasi dari negara maju saat ini wajib membayar kesalahan para pendahulu mereka seolah menjadi usang bila berhadapan dengan empat hal.

Pertama, arus informasi media di negara industri akan dengan mudah menyeret negara berkembang seperti Cina, India, dan bahkan Indonesia harus ikut memikul tanggung jawab menurunkan emisi. Karena, terbukti menjadi negara penghasil emisi karbon yang tinggi.

Kedua, negara-negara Eropa merasa telah memberikan keuntungan financial besar bagi negara berkembang sejak diberlakukannya mekanisme perdagangan karbon menurut protokol Kyoto, yang jumlahnya bahkan mencapai 1,2 triliun US Dollar (Nicholas Stern, 2009).

Ketiga, meskipun diakui emisi industri besar tetapi negara industri menganggap hal itu wajar karena mereka telah bekerja keras untuk membangun teknologi yang akhirnya juga dinikmati pula oleh negara berkembang. Kebalikannya, negara berkembang bahkan tidak pernah dikenai tanggung jawab membatasi emisi mereka hingga muncullah fenomena industrialisasi Cina yang menempatkan negara tersebut sebagai pencemar terbesar saat ini.

Terakhir, negara maju telah menyetujui untuk membantu negara berkembang secara finansial untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim yang jumlahnya sebesar 10 miliar US Dollar per tahun hingga 2012 dan 100 miliar US Dollar per tahun mulai tahun 2020.

Adakah Pemenang?

Jelas, akan ada pemain ekonomi yang akan kalah. Yang pasti adalah, bahwa kita semua akan menjadi pecundang jika terjadi bencana akibat perubahan iklim. Seperti bencana alam tak menentu, banjir, kekeringan, air laut yang menenggelamkan negara kepulauan seperti Tuvalu dan Maladewa, penyakit akibat iklim, dan sebagainya.

Bila dicermati secara positif lebih luas lagi, COP-15 seharusnya menciptakan pemenang. Oleh karena itu, ketimbang menjadi zero-sum game, memandang selalu ada pemenang yang meninggalkan pecundangnya, hasil COP-15 selayaknya menjadi positive sum game, memposisikan sebagai pemenang. Meskipun, ada sebagian dari penduduk bumi menangggung biaya lebih banyak dari yang lainnya.

Kategori "pecundang" yang lainnya akan meliputi perusahaan minyak berbasis bahan bakar fosil dan batubara. Tampaknya, dengan kebijakan emisi yang ketat, produser bahan bakar fosil akan terpaksa tergerus margin keuntungan mereka. Tapi, bersamaan ketika kandungan minyak dunia menurun, sementara kebutuhan kontinyu terhadap bahan bakar minyak (BBM) pada sektor tranportasi yang semakin tinggi, akan menjamin kebutuhan BBM yang tinggi pula sehingga harga tetap menguntungkan produser BBM.

Boleh jadi negara-negara Arab tentu akan keberatan dengan peraturan emisi bahan bakar fosil yang ketat. Tetapi, negara-negara arab berpeluang mendapat keuntungan signifikan dari energi terbaharukan. Negara-negara Arab akan menjadi "solar valley" dengan sinar matahari yang berlimpah ruah yang dimiliki. Infrastrukutur energi yang mapan akan menjadikan negara-negara Arab kandidat utama untuk pengembangan energi surya bersakala besar. Bahkan, memproduksi energi untuk skala ekspor. Seperti yang dilakukan oleh Tunisia.

Selain itu, produsen batubara akan menderita karena batubara adalah bahan bakar yang mengandung karbon tinggi. Tetapi, keberadaan teknologi Carbon Capture Storage (CCS) yang mengurangi emisi karbon gas buang dari pembangkit energi berbahan bakar batubara akan menjamin produser batubara tetap memegang peran penting dalam pasar energi dunia masa depan.

Jalan Mendulang Dollar

Terlepas dari perdebatan tentang siapa yang berhak mendapat keadilan iklim, potensi proyek perubahan iklim ternyata peluang "mendulang dollar" bagi siapa yang cermat membidik investasi. Pertama, Climate Accord yang diputuskan pada COP-15 memutuskan negara maju untuk membantu negara berkembang secara finansial untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim yang jumlahnya sebesar 10 miliar US Dollar per tahun hingga 2012 dan 100 miliar US Dollar per tahun mulai tahun 2020.

Kedua, analisis dari lembaga New Energy Finance juga perlu dicermati. Pada tahun 2010, sekitar 250 miliar US Dollar akan diinvestasikan untuk proyek adaptasi dan pencegahan iklim, perluasan sarana air bersih, dan pengembangan dan aplikasi teknologi energi terbarukan. Artinya, dari kedua peluang tersebut, ada jalan mendulang dolar dari proteksi perubahan iklim mulai tahun baru 2010 yang akan kita mulai bersama.

Sepatutnya tak pernah ada kata kalah bila sebuah peristiwa yang dianggap kegagalan tersebut ternyata jendela pembuka untuk melihat peluang keberhasilan. Bila banyak pihak mengatakan bahwa berbagai pertemuan iklim termasuk pertemuan Kopenhagen telah gagal maka hanya satu yang boleh dijadikan jalan keluar dari segala kegagalan kesepakatan tersebut. Perubahan iklim global seharusnya ditunda.

Pada akhirnya kita kembali pada realita. Iklim bumi kita sudah berubah sehingga bumi semakin ringkih. Tinggal kita yang harus mengambil sikap dari realita perubahan iklim yang telah terjadi: ingin menjadi pemenang atau pecundang?

0 komentar: