CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Rabu, 24 November 2010

Menggapai Kemerdekaan Ekologis


Jakarta - Masih dalam suasana Indonesia 65. Sejenak kita ambil waktu untuk melihat hasil-hasil pembangunan selama 65 tahun terakhir. Selama lebih dari enam dekade pembangunan ekonomi menjadi fokus utama negara meskipun kecepatan dan tingkat pemerataannya berjalan lambat. Selama ini pula kita melihat pembangunan ekonomi tidak banyak mengindahkan kaidah-kaidah lingkungan hidup yang mengakibatkan banyak sekali kerusakan lingkungan di negeri ini.

Memang isu-isu lingkungan hidup bukan isu seksi seperti dunia politik. Namun, masalah lingkungan sudah semakin disadari signifikansinya dalam praktek bernegara. Kalimat pertama dalam dasar pertimbangan untuk menetapkan UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) berbunyi sebagai berikut: bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Selain itu terdapat enam buah frase "pembangunan berkelanjutan" dalam UU PPLH ini. Artinya pengarusutamaan isu-isu lingkungan hidup sudah menyetel dengan konstitusi kita. Lingkungan hidup sudah menjadi hak asasi warga negara yang berarti kita berhak menuntut lingkungan yang bersih dan hijau. Seiring dengan perayaan Kemerdekaan RI yang ke-65, dalam konteks perekonomian negara, kemerdekaan ekologis yang berarti merdeka dari lingkungan yang rusak, tercemar, dan terdegradasi masih perlu perjuangan yang keras oleh segenap anak bangsa.

Dalam salah satu teori green economy (ekonomi hijau) atau ekonomi ekologis (ecological economy), dikenal istilah 'irreversible' (sifat yang tidak dapat dipulihkan kembali) dan 'entropy/ randomness' (ketidakberaturan). Kedua istilah itu mengandung makna bahwa pembangunan ekonomi tidak boleh memutuskan sifat ketergantungan yang harmonis antara human-economy (digerakkan oleh perilaku manusia dan praktek usaha) dan natural-ecosystem (ekosistem natural).

Secara ilmu fisika energi entropy diambil dari hukum kedua termodinamika yang mengatakan bahwa aliran kalor memiliki arah di mana tidak semua proses di alam semesta adalah 'reversible' (dapat dibalikkan arahnya). Sebagai contoh jika seekor beruang kutub tertidur di atas salju maka salju di bawah tubuhnya akan mencair karena kalor dari tubuh beruang tersebut. Namun, beruang tersebut tidak dapat mengambil kalor dari salju itu untuk menghangatkan tubuhnya. Dengan demikian aliran energi kalor memiliki arah yaitu dari panas ke dingin.

Perdebatan tentang ekonomi hijau vs ekonomi konvensional neo klasik sudah muncul sejak era tahun 1970-an ketika salah satu pakar ekonomi hijau Georgescu-Roegen tahun 1971 menerbitkan buku yang berjudul The Entropy Law and Economic Process. Sebelumnya Club of Rome era 1960-an sudah membuat kajian mengenai 'The limits of Growth'.

Perdebatan sentral ketika itu adalah apakah teori ekonomi neoklasik tentang penggunaan sumber daya alam harus dimodifikasi untuk mengikuti hukum termodinamika kedua --yang disebut dengan hukum entropy. Teori neoklasik memang sudah comply dengan prinsip-prinsip hukum termodinamika pertama (energi adalah bersifat kekal, tidak dapat diciptakan dan dihancurkan, yang bisa hanya dikonversikan ke bentuk energi lain). Bahwa, konservasi energi dan material menunjukkan kondisi di mana harga yang merupakan nilai preferensi dari agen ekonomi rasional, secara akurat telah memasukkan kelangkaan sumber daya alam dan kemudian menciptakan kondisi pasar yang secara efisien mengalokasi sumber daya yang langka itu.

Meskipun demikian hukum entropi memaksakan batasan-batasan tambahan secara langsung pada proses fisik yang tidak hanya dihasilkan oleh proses konservasi itu sendiri. Entropy memang kemudian menjadi relevan dengan ekonomi penggunaan sumber daya alam jika pertimbangan hukum pertama termodinamika tidak memberikan hasil yang akurat dalam mengukur kelangkaan sumber daya alam dalam rentang perencanaan ekonomi dan pengembangan kebijakan nasional secara jangka panjang.

Inilah juga yang digunakan sebagai deplesi atau penyusutan sumber daya alam. Khususnya dalam perhitungan green PDB (PDB hijau). Pertimbangan entropy ini berkaitan erat dengan jasa lingkungan. Dalam praktek ekonomi sehari-hari pasar tidak dapat menangkap jasa lingkungan dalam menentukan harga barang dan jasa. Oleh sebab itu menurut Prof Emil Salim pasar perlu dikoreksi baik melalui mekanisme pajak, insentif, maupun disinsentif.

Jadi pada akhirnya hukum termodinamika kedua tetap relevan dan layak menjadi pertimbangan utama bahwa lingkungan yang rusak dan tercemar akibat efek pembangunan fisik yang masif tidak dapat dipulihkan kembali kondisinya seratus persen seperti sedia kala. Jadi merusak lebih gampang daripada memelihara.

Pembangunan Ekologis
Dalam UU No 27 tahun 2007 tentang RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) Nasional tahun 2005 - 2025, pasal 3 tercantum sebagai berikut: RPJP Nasional merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial dalam bentuk rumusan visi, misi dan arah Pembangunan Nasional.

Bahkan, dalam penjelasan UU ini ditambahkan kalimat sebagai berikut: Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun merupakan kelanjutan dari pembangunan sebelumnya mencapai tujuan pembangunan sebagaimana diamanatkan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Untuk itu, dalam 20 tahun mendatang, sangat penting mendesak bagi Bangsa Indonesia untuk melakukan penataan berbagai langkah-langkah. Antara lain di bidang pengelolaan daya alam, sumber daya manusia, lingkungan hidup kelembagaannya, sehingga bangsa Indonesia dapat ketertinggalan dan mempunyai posisi yang sejajar serta yang kuat di dalam pergaulan masyarakat Internasional.

Kalau UU RPJP No 27 tahun 2007 dan UU PPLH No 32 tahun 2009 dipakai sebagai cermin refleksi kemerdekaan RI di bidang ekosistem dan pembangunan maka hasilnya masih jalan di tempat. Pengelolaan lingkungan hidup masih tumpang tindih antara sektor dan sub sektor pemerintahan baik di pusat maupun daerah. Belum lagi pelaksanaan Amdal di daerah-daerah yang masih asal-asalan sehingga Amdal hanya berupa dokumen lampiran layaknya surat-surat perizinan lainnya.

Sudah banyak kasus rusaknya lingkungan ini. Di antaranya kasus anyar pencemaran merkuri Sungai Cikantor Lampung, debu tambang batu bara Kalsel di atas ambang toleransi, hancurnya hutan-hutan Kalimantan akibat agresivitas kuasa penambang lokal tanpa Amdal yang layak, setiap tahun 1,8% lahan hijau negeri berkurang, selama 15 tahun terakhir 2,3 juta hektar hutan bakau di Indonesia berubah fungsi menjadi tambak, 70 Persen terumbu karang di Sulsel rusak.

Dalam UU PPLH No 32 tahun 2009 ini ada revitalisasi fungsi Amdal secara optimal. Selain itu ada ketentuan di UU ini bahwa apabila izin lingkungan statu entitas bisnis dicabut maka otomatis izin usahanya juga dibatalkan. Ada anggapan bahwa UU ini akan menjadi penghambat investasi asing dan domestik. Namun, anggapan itu sangat keliru karena justru UU ini berniat baik untuk menjembatani antara kepentingan ekonomi-bisnis dengan keberlanjutan lingkungan yakni pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan.

Penghambat utama investasi asing yang masuk ke Indonesia bukan disebabkan Amdal yang berat. Namun, adanya biaya-biaya siluman (termasuk pungutan liar) dan proses birokrasi yang panjang ke instansi-instansi terkait. Proses perizinan investasi di Indonesia bisa makan waktu lebih dari 150 hari. Proses yang lama ini dapat menimbulkan korupsi dan praktek suap. Ini berbeda dengan praktek perizinan di negara-negara lain yang lebih cepat, murah, dan efisien. Menurut laporan Bank Dunia tahun 2008 (Doing Business Report 2008) proses izin investasi di Singapura mencapai 5 hari, Malaysia 24 hari, dan Cina 30 hari.

Green Banking di Indonesia
Tanggal 02 Agustus 2010 Bank Indonesia (bekerja sama dengan Kementerian LH) mengumpulkan 80 bank nasional dan asing untuk sosialisasi UU PPLH No 32 tahun 2009. Forum ini sungguh bermanfaat untuk menjelaskan kepada pihak perbankan bahwa lingkungan sudah menjadi isu utama pembangunan khususnya yang berhubungan dengan sektor pembiayaan kepada debitur-debitur atau korporasi yang bergerak di bidang industri ekstraktif.

Sejalan dengan itu perbankan sebagai urat nadi perekonomian perlu pro aktif dalam membuat kebijakan bisnis, produk, dan layanannya yang sejalan dengan semangat pembangungan berkelanjutan. Salah satu ketentuannya adalah green lending.

Di sini BI harus membuat gebrakan sebagai regulator agar bank segera memiliki aturan dan standar yang sama tentang pengelolaan risiko-risiko lingkungan dengan kelayakan kredit. Singkatnya bagaimana BI membuat regulasi sehingga perbankan dapat 'Incorporated' secara mandatori dalam misi dan strateginya. Isu-isu krusial yang perlu dibahas apabila kelak konsep green banking (definisi: bank yang menempatkan sustainability pada prioritas utama bisnisnya) diterapkan adalah sebagai berikut:

1. BI membuat ketentuan kewajiban penerapan ESRA (Environmental and Sosial Risk Assessment) ke semua bank nasional dan asing di Indonesia. Dengan perangkat ESRA bank dapat melakukan mitigasi risiko-risiko lingkungan yang berhubungan dengan kelayakan proyek yang akan didanai oleh Bank. Dalam ESRA harus tercantum standar credit scoring yang menjadi acuan suatu proposal proyek itu yang secara environmental layak didanai. Jangan sampai Debitur A di bidang tambang, mengajukan kredit ke Bank X ditolak, lalu Debitur A mengajukan lagi proposal ke Bank Y, dan proposal pengajuan kreditnya diterima. Ini jelas standar ganda. Sebisa mungkin kasus-kasus ini dihindari melalui filter regulasi BI.

2. Ada suatu perusahaan yang kemudian hari melakukan pencemaran berat dan akhirnya Izin LH dicabut oleh KLH atau Pemda. Otomatis izin Usaha juga gugur (UU No 32 Tahun 2009). Sementara perusahaan ini masih punya cicilan kredit ke bank A.

Bagaimana kolektibilitas kreditnya terhadap bank A yang dapat berakibat naiknya NPL (Non Performing Loan, alias kredit macet) Bank A. Ini perlu dibuat skenario buruk kalau suatu saat terjadi, dan apakah mungkin bank diberikan insentif oleh BI baik penghapusan kreditnya maupun ganti rugi. Atau adakah skema asuransi lingkungan yang mengkover kerugian kredit macet tersebut?

Kasus serupa, kalau debitur Bank adalah supplier/ vendor utama dari PT X Tambang. Suatu ketika ijin lingkungan PT X Tambang ini dicabut karena mencemari lingkungan, dan otomatis izin usaha gugur. Bagaimana kelanjutan kredit di Bank di mana supplier itu menjadi debiturnya. Sementara core business debitur tersebut adalah dengan PT X Tambang. Ini bisa berakibat pada naiknya NPL bank tersebut.

3. Perlu adanya mekanisme atau sistem informasi AMDAL on-line sehingga pihak Bank bisa mengakses calon-calon debitur yang berisiko merusak atau mencemari lingkungan. Setidaknya bank dapat melihat validitas dan keabsahan dokumen-dokumen lingkungan dari calon debitur. Sistem Amdal On-line ini juga dapat memuat profile atau status PROPER perusahaan tersebut. Jadi semacam mekanisme rating AMDAL ke Pemerintah Pusat/ Pemda. Kalau di dunia banking, ini namanya SID (Sistem Informasi Debitur).Jadi mekanisme ini dibuat layaknya SID untuk AMDAL si calon debitur.

Biodiversitas

Refleksi kemerdekaan ekologis ini patut menjadi renungan HUT RI ke-65. Apakah sudah seharusnya negeri ini putar haluan dengan membangun negeri melalui pemanfaatan biodiversitas (keanekaragaman hayat) yang jumlahnya melimpah ruah. Berdasarkan survey McKinsey yang dilakukan pada periode 15 - 19 Juni 2010 kepada 1.576 respondennya (seluruhnya eksekutif dari berbagai jenis korporasi) di seluruh dunia, ditemukan fakta bahwa dunia bisnis (37%) sudah menyadari betapa pentingnya keanekaragaman hayati bagi masalah keberlanjutan (sustainability) bisnis mereka.

Bahkan, terkait dengan perubahan iklim, sebanyak 59% responden menyatakan bahwa biodiversitas merupakan suatu peluang bisnis ketimbang risiko. Lalu sebanyak 52% responden menyatakan bahwa pemanfaatan energi terbaharukan dalam hubungannya dengan biodiversitas merupakan aksi nyata yang akan mereka lakukan dalam perusahaan mereka.

Meskipun masih carut-marut di lapangan namun harapan pembangunan berbasis lingkungan hidup masih bersinar pada UU PPLH. Paradigma UU PPLH ini adalah pembangunan berkelanjutan yang penuh dengan nilai-nilai wawasan lingkungan hidup. Oleh karena itu sudah saatnya rakyat negeri kita menuntut kemerdekaan ekologis sebagai hak asasi manusia. Kemerdekaan ekologis merupakan cita-cita luhur seluruh anak negeri untuk menuntut negara menciptakan rasa aman dari risiko hancur, cemar, dan rusaknya lingkungan hidup demi generasi sekarang dan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Sekali lagi dengan adanya kesadaran dunia dan tren bisnis global akan pentingya harmoni bisnis dan lingkungan maka selayaknya Indonesia mengambil sikap proaktif untuk memanfaatkan kekayaan alam secara berkelanjutan (sustainable) dalam peningkatan nilai tambah ekonomi. Inilah jati diri bangsa dalam kemerdekaan negeri ini. Kemerdekaan bukan hanya pintar untuk menjual barang mentah namun juga mengolahnya secara optimal untuk kepentingan industri dalam negeri dan daya saing produk kita. Semoga hal ini menjadi kenyataan.

Selamat merenungkan kemerdekaan kita.

0 komentar: